dictionary

Minggu, 01 Mei 2011

IKATAN AGAMA DAN NEGARA DALAM SEJARAH KEHIDUPAN BANGSA JEPANG

     Tidak diragukan lagi, Jepang atau yang sering disebut Negara Matahari Terbit memiliki kehidupan keberagamaan yang unik. Keunikannya terletak pada sikap yang bertentangan terhadap agama atau kehidupan agamis, saat sebelum dan setelah Perang Dunia II (PD II). 
    Corak keberagamaan masyarakat Jepang sebelum PD II dapat dilukiskan dalam enam tema :
  1. Hubungan erat antara manusia, Dewa, dan alam. 
  2. Corak agamis kehidupan keluarga.
  3. Mementingkan purifikasi, ritual, dan jimat. 
  4. Sarat dengan festival local dan kultus perorangan.
  5. Agama meresap dalam kehidupan sehari-hari.
  6. Hubungan erat agama dan negara.
Sedangkan setelah PD II, masyarakat Jepang cenderung sangat sedikit menaruh perhatian terhadap agama. Hal ini mungkin disebabkan karena corak kehidupan industrial dan urban Jepang modern telah menyebabkan masyarakat Jepang lebih banyak terlibat dengan hal-hal yang bukan agama. Atau mungkin juga karena ada pemisahan antara agama dan negara (Jepang menjadi negara sekuler) pasca kekalahan Jepang pada PD II. 
Pada tulisan ini, titik tekan pembahasan lebih kepada hubungan erat agama dan negara, yang merupakan tema keenam dari enam corak keberagamaan masyarakat Jepang sebelum PD II.
Di bawah ini, akan dipaparkan mengenai bagaimana bentuk hubungan erat antara agama dan negara dalam sejarah kehidupan bangsa Jepang. Dimulai dari zaman prasejarah, masa awal sejarah, zaman pertengahan, hingga masa modern.

Pembahasan :

Jepang pada zaman prasejarah, tepatnya pada abad pertama masehi, Jepang didiami oleh bangsa mongol yang memasuki Jepang bagian selatan dan tengah melalui Korea. Beberapa abad kemudian suku Yamato masuk ke Jepang dan berhasil menguasai wilayah Jepang. Sebelum agama konfusius dan Buddha memasuki Jepang, agama asli Jepang belum terorganisir dan baru merupakan kumpulan tanpa nama dari berbagai pemujaan terhadap alam,  roh nenek moyang, dan samanisme. Tidak ada pemisahan antara agama dan negara. Setiap suku mempunyai dewanya sendiri, yang kadang-kadang dianggap sebagai nenek moyangnya. Kepala suku bukan saja bertindak sebagai pemimpin politik, tetapi juga sebagai pendeta tertinggi.   
Pada masa awal sejarah, Jepang mulai memasuki masa sejarahnya sebagai sebuah negara yang bersatu dan berdaulat, pengaruh paling utama terhadap kehidupan spiritual bangsa Jepang berasal dari agama Buddha. Agama Buddha menguasai istana. Pangeran Shotoku (574—622) adalah orang Jepang pertama yang bersungguh-sungguh mempelajari pemikiran agama Buddha dan memeluknya dengan penuh keyakinan. Pada tahun 604, agama Buddha dapat dikatakan sudah menjadi agama negara. Perkembangan agama Buddha mencapai puncaknya pada masa Nara (710—794). Pengaruh agama Buddha terhadap tata administrasi kepemerintahan juga cukup besar.
Pada zaman pertengahan, agana Buddha yang semula dianggap asing, diubah menjadi agama asli Jepang. Pada zaman Tokugawa, agama Jepang menjadi satu-satunya agama negara. Pemerintah melakukan pengawasan terhadap agama tersebut dan mempergunakannya untuk tujuan memelihara tertib sosial maupun untuk mengatur kehidupan spiritual bangsa. Setiap penduduk diwajibkan mencatatkan diri ke kelenteng-kelenteng sebagai pengikut agama Buddha. Kegiatan lain, seperti perkawinan, perpindahan kerja, kelahiran, kematian, perjalanan juga harus dilaporkan ke kelenteng-kelenteng. Dengan demikian, selain tugas-tugas keagamaan, kelenteng-kelenteng tersebut juga menyelenggarakan berbagai tugas kepemerintahan.
Masa modern dimulai sejak masa Meiji hingga meletusnya PD II. Pada masa ini, kehidupan agama di Jepang sangat erat hubungannya dengan politik kepemerintahan. Setidaknya ada empat hal utama yang menjadi ciri pokok kehidupan agama di Jepang, terutama terkait dengan agama shinto :

1.     Usaha Pemerintah Menciptakan Negara Teokrasi
Pemerintah Meiji berusaha menciptakan sebuah negara yang didasarkan atas konsep saisei itchi, kesatuan agama dan politik. Dengan kata lain, pemerintah Meiji ingin mendirikan sebuah negara teokrasi berdasarkan kultus agama Shinto.

2.    Penataan Sistem Jinja
Pemerintah melakukan penataan tempat-tempat suci yang disebut jinja, dan mendapatkan bantuan untuk kepentingan yang menyangkut organisasi dan kepentingan kegiatan keagamaan di tempat-tempat suci tersebut. Kegiatan-kegiatan baik dalam pelaksanaan upacara dan perayaan keagamaandirasa tepat dan layak untuk mengembangkan karakter bangsa.

3.    Campur tangan pemerintah dalam urusan agama.
Melalui mentri pendidikan dan para pejabat daerah pemerintahan melakukan pengawasan dan campur tangan yang sempurna dalam urusan agama. Dengan begitu, disatu pihak undang-undang organisasi keagamaan memberikan kedudukan yang sah pada agama-agama yang ada di Jepang, dan dilain pihak undang-undang tersebut dijadikan alat oleh pemerintahan untuk mengatur dan mengawasi semua organisasi keagamaan yang ada.

4.    Militerisasi Agama
Militerisasi agama sebenarnya sesuai dengan konteks pada waktu itu, dimana bangsa Jepang dalam keadaan berperang. Semua badan keagamaan telah digunakan untuk mempertebal semangat nasionalisme dan militerisme. Upacara-upacara yang berhubungan dengan perang diselenggarakan di berbagai tempat.

Ironis, hubungan erat antara agama dan negara di Jepang berakhir bersamaan dengan berakhirnya PD II. Kekalahan tersebut memaksa Jepang menerapkan bentuk pemerintahan yang memisahkan kehidupan agama dari negara (sekuler). 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar